1.
Caminho
Duvidoso
KM Nggapulu merapat di Kepulauan Banda. Kapal penumpang raksasa berkapasitas 5,000 penumpang ini berlabuh dua kali dalam sebulan di Kepulauan Banda pada rute pelayaran dari Jakarta menuju Papua. Dioperasikan oleh PT Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia), kapal serupa ini menjadi transportasi andalan Kepulauan Banda.
Awal Februari 2014, saya terperangkap di rahim sebuah kapal besar milik negara kepulauan terbesar di muka bumi. Dek ekonominya dipenuhi dipan yang berjejer, tempat tubuh-tubuh lesu tergolek di antara kardus dan buntalan kain yang berserakan. Aroma makanan basi, bacin muntah, juga pesing kakus, menguar di udara, berkesiur dalam ruangan pengap di mana penyejuk udara tak lagi berembus. Barang sebentar, pengeras suara meneriakkan jadwal makan, waktu sembahyang, larangan membuang sampah ke laut, hingga skedul pemutaran film.
Dengan karcis seharga Rp15,000, saya memasuki bioskop di dek tengah, lalu duduk diapit laki-laki bermata merah yang memelototi adegan percintaan gadis-gadis Korea. Film makin panas dan gelombang laut kian kencang menerjang. Kapal terhuyung, bergoyang, seakan mengiringi getaran ranjang para gadis yang penuh gairah.
Berpindah ke dek lainnya, saya melangkahi tubuh-tubuh yang tergeletak serampangan, berpapasan dengan orang-orang yang berbincang dalam beragam bahasa. Sesekali, pedagang lewat menjajakan kopi panas, mi instan, nasi bungkus, boneka beruang besar. Malam riuh oleh obrolan, tangis anak-anak, dengkur dari tidur yang pulas. Di dek atas, restoran kapal mengeluarkan dentuman musik dan riang suara wanita. Saya merebahkan tubuh, meringkuk dikepung bising dan dipeluk mual.
KM Tidar, kapal milik Pelni, tak ubahnya miniatur Indonesia: centang perenang sekaligus kaya warna. Perjalanan menaikinya tak menjanjikan kenyamanan, tetapi banyak orang tak punya pilihan. Di negara berisi 17,000an pulau yang hanya memiliki 297 bandara ini, kapal Pelni adalah transportasi reguler yang paling bisa diandalkan untuk menghubungkan pulau-pulau yang tercerai-berai, termasuk Kepulauan Banda, tempat yang kini saya tuju.
KM Tidar mulai memasuki Laut Banda. Raksasa renta berbobot 14,500 ton ini menderu membelah ombak yang bersabung di awal tahun. Hampir seminggu sejak bertolak dari Jakarta, KM Tidar telah mengarungi jarak lebih dari 2.000 kilometer, menyinggahi pelabuhan-pelabuhan yang terserak di Timur Nusantara. Dan kini, tidak lama lagi, bahtera buatan Jerman ini akan menyinggahi Banda, gugusan yang dikungkung laut dalam dan ganas, gugusan yang sarat cerita dan drama.
Aroma makanan basi, bacin muntah, juga pesing kakus, menguar di udara, berkesiur dalam ruangan pengap di mana penyejuk udara tak lagi berembus. Barang sebentar, pengeras suara meneriakkan jadwal makan, waktu sembahyang, larangan membuang sampah ke laut, hingga skedul pemutaran film.
Kerap berlayar melebihi kapasistas, banyak penumpang KM Tidar terpaksa tidur di lantai kapal dengan alas seadanya.
Kerap berlayar melebihi kapasistas, banyak penumpang KM Tidar terpaksa tidur di lantai kapal dengan alas seadanya.
Saat cuaca bersahabat, pelayaran dari Ambon menuju Banda memakan waktu setidaknya delapan jam.
Saat cuaca bersahabat, pelayaran dari Ambon menuju Banda memakan waktu setidaknya delapan jam.
Muda-mudi menghabiskan waktu di sekoci penyelamat milik KM Tidar.
Muda-mudi menghabiskan waktu di sekoci penyelamat milik KM Tidar.
Banda terdiri dari 12 pulau kecil yang kerap tidak tertera di atas peta.
Banda terdiri dari 12 pulau kecil yang kerap tidak tertera di atas peta.
Berabad-abad silam, Banda adalah sebuah obsesi. Kerajaan-kerajaan di Eropa berupaya menemukannya, memperebutkannya, menguasainya. Lebih dari 500 tahun sebelum perjalanan saya, Kerajaan Portugal, Spanyol, kemudian Inggris dan Belanda, mengutus armada-armada mereka ke Banda, juga pulau-pulau tetangganya di Maluku, dalam sebuah lomba layar raksasa yang mahal dan penuh pertaruhan.
Menaiki kapal-kapal kayu, para pelaut Eropa membaca arah ketika peta dunia belum utuh, berharap pada kebaikan angin, arus, dan nasib mujur. “Caminho duvidoso”, pelayaran yang penuh keragu-raguan, begitu ekspedisi-ekspedisi itu dulu dijuluki. Barangkali tak salah pula untuk menyebutnya pelayaran yang penuh kegagalan. Banyak nyawa melayang. Banyak kapal tersesat. Separuh armada tidak pernah kembali.
Berbeda dari para pelaut masa lalu itu, saya kini berlayar ketika teknologi navigasi telah merangkum lautan, ketika peta digital telah merekam hampir tiap sudut bumi yang paling tersuruk sekalipun. Badai memang menjadi-jadi, ombak silih berganti menghantam lambung kapal, tetapi KM Tidar terus berlayar tanpa keraguan, tanpa tersesat. Saya berlayar ketika dunia telah diringkas dan diringkus.
KM Nggapulu melewati Selat Sonnegat, celah sempit menuju Pelabuhan Banda Naira. Umumnya kapal penumpang menyinggahi pelabuhan selama satu jam sebelum melanjutkan pelayaran ke tujuan berikutnya.
Dalam naungan langit subuh yang remang, trompet kapal menggelegar, bagaikan alarm gempa yang hendak membangunkan penduduk yang tengah tertidur. Pengeras suara mengumumkan dalam waktu dekat kapal bermuatan 1.900 penumpang ini akan mendarat di Banda. Pulau-pulau kecil tampak menyembul di kejauhan.
“Aroma pulau itu akan tercium sebelum kita melihat daratannya,” tulis Giles Milton tentang Banda dalam Nathaniel's Nutmeg. Berdiri di haluan KM Tidar, menatap daratan yang kian dekat, saya tak bisa memahami kata-katanya. Giles memang menulis dengan merujuk arsip-arsip tua, jurnal-jurnal para pelaut. Ahli sejarah asal Inggris itu berbicara tentang masa lalu. Pagi buta ini, saya hanya bisa mengendus bau dari dek-dek pengap yang bercampur dengan aroma payau dan asin lautan.
“Caminho duvidoso", pelayaran yang penuh keragu-raguan, begitu ekspedisi-ekspedisi itu dulu dijuluki. Barangkali tak salah pula untuk menyebutnya pelayaran yang penuh kegagalan. Banyak nyawa melayang. Banyak kapal tersesat. Separuh armada tidak pernah kembali.
Sebuah bangunan era kolonial yang tak terurus di Banda Naira.
Seorang warga Pulau Rhun sedang tidur siang. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh warga Kepulauan Banda selain bekerja di perkebunan pala atau menjadi nelayan.
KM Tidar melepas jangkar di Naira, pulau utama di Banda. Penumpang tumpah dari pintu-pintu. Barang berhamburan. Pelabuhan sibuk. Tak lama berselang, KM Tidar bertolak kembali, meninggalkan saya yang menyusuri lorong-lorong pasar, melewati rumah-rumah yang ditopang tiang-tiang gemuk, rumah-rumah sederhana dengan pintu terbuka, anak-anak yang berangkat sekolah.
Saya telah menggapai Banda, sebuah tempat yang dulu ramai-ramai dilacak para pelaut, serakan daratan yang kadang tersisih dari peta. Banda, yang menyerupai buih di tengah lautan, yang terserak di antara Ambon, Papua, Timor-Leste, dan Aru, memang tak ubahnya noktah samar di antara belasan ribu pulau Indonesia yang maha luas ini.
***
Sebelumnya
Selanjutnya (Segera di Oktober)